Selasa, 27 September 2016
Salah satu
jenis penelitian ialah penelitian kualitatif. Hakikatnya penelitian kualitatif
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian,
seperti: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik
pada suatu konteks dengan berbagai metode alamiah. Artinya peneliti berangkat
ke lapangan dengan mengamati fenomena yang terjadi di lapangan secara alamiah.
Namun yang membedakan ialah fokus penelitiannya; apakah fokus ke budaya, kasus
atau fenomena. Penelitian kualitatif yang fokus pada fenomena disebut
fenomenologi.
Fenomenologi
pada awalnya adalah kajian filsafat dan sosiologi. Edmund Hursserl, seorang
filsuf dari Jerman, menginginkan fenomenologi dapat melahirkan ilmu yang lebih
bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia, setelah sekian lama ilmu pengetahuan
mengalami krisis dan disfungsional. Fenomenologi kemudian berkembang menjadi
semacam metode riset yang diterapkan dalam berbagai ilmu sosial, termasuk di
dalamnya pendidikan, sebagai satu varian penelitian kualitatif. Untuk memahami
lebih jauh dalam makalah ini akan dibahas tentang fenomenologi dari segi
pengertian, konsep dasar, dan metode penelitian.
A.
Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani, phaenesthai,
berarti menunjukkan dirinya sendiri, menampilkan. Fenomenologi juga berasal
bahasa Yunani, pahainomenon, yang secara harfiah “gejala” atau “apa yang telah
menampakkan diri” sehingga nyata bagi si pengamat. Dalam bahasa
indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi
adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang
membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang Fenomenolog suka melihat gejala.
Hasbiansyah (2008:164) menuturkan
bahwa istilah fenomenologi diperkenalkan oleh J.H. Lambert dan dicetuskan
secara intens oleh Edmund Husserl. J.H. Lambert pertama kali mengenalkan Teori
Kebenaran dengan istilah fenomenologi. Istilah ini diperluas pengertiannya dan
digunakan dalam filsafat tahun 1765 sehingga ditemukan dalam karya-karya Immanuel
Kant. Selanjutnya didefinisikan oleh Hegel sebagai pengetahuan yang muncul
dalam kesadaran, sains yang mendeskripsikan apa yang dipahami seseorang dalam
kesadaran dan pengalamannya.
Fenomenologi kemudian dicetuskan oleh Edmund Husserl pada tahun 1859-1938
yang selanjutnya sering disebut sebagai Bapak Fenomenologi. Filsafatnya sangat
populer sekitar tahun 1950-an yang bertujuan memberi landasan bagi filsafat
agar berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom. Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh
Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den
sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi
fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl
berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak
bipolarisasi antara kesadaran dan alam,
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi
obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran
merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran
tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul
perlu diandaikan tiga hal yaitu : ada
subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran
tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu,
kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan
kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek
kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan
dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpendapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek
diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu
yaitu: Reduksi pertama.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka
untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua.
Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber
lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada. Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang
sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau
reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala
akan memperlihatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin.
Menurut Jailani (2013:42), penelitian fenomenologi adalah pandangan
berpikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman manusia dan bagaimana
manusia menginterpretasikan pengalamannya. Ditinjau dari hakikat pengalaman
manusia dipahami bahwa setiap orang akan melihat realita yang berbeda pada
situasi yang berbeda dan waktu yang berbeda. Sebagai contoh, “perasaan” pada
pagi ini berbeda pada esok pagi. Kalau kita melakukan wawancara kepada
seseorang pada pagi hari akan berbeda pada pagi hari lainnya. Sehingga jarak,
waktu, hubungan manusia, tempat tinggal, akan mempengaruhi setiap pengalaman
manusia. Maka metode dalam fenomenologis menekankan kepada bagaimana seseorang
memaknai pengalamannya.
Hasbiansyah (2008:166-167) merangkum pengertian fenomenologi, yakni:
1. Fenomenologi adalah studi tentang esensi-esensi,
misalnya esensi persepsi, esensi kesadaran, dsb.
2. Fenomenologi merupakan filsafat yang menempatkan
esensi-esensi dalam eksistensi; bahwa manusia dan dunia tak dapat dimengerti
kecuali dengan bertitik tolak pada aktivitasnya.
3. Fenomenologi adalah suatu filsafat transendental
yang menangguhkan sikap natural dengan maksud memahami secara lebih baik.
4. Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secara langsung
melukiskan pengalaman kita sebagaimana adanya, tanpa memerhatikan asal-usul
psikologisnya dan keterangan kausal yang dapat disajikan oleh ilmuwan,
sejarawan, dan sosiolog.
Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa penelitian
fenomenologi adalah penelitian yang berusaha mengungkap makna konsep atau fenomena
pengalaman yang yang dialami individu. Peneliti masuk ke dalam dunia subjek
yang diteliti sehingga peneliti mengerti tentang apa dan bagaimana sesuatu
pengertian dikembangkan oleh subjek di sekitar peristiwa. Penelitian ini
dilakukan dalam situasi yang alami.
B.
Konsep Dasar Fenomenologi
Untuk memahami fenomenologi (Hasbiansyah,
2008:167-169), terdapat konsep dasar yang perlu dipahami, antara lain konsep
fenomena, epoche, konstitusi,
kesadaran dan reduksi.
- Fenomena
Fenomena adalah objek yang dikaji dalam studi
fenomenologi. Fenomenologi adalah tampilan suatu objek, peristtiwa dalam
persepsi. Sesuatu yang tampil dalam kesadaran, bisa rekaan atau kenyataan.
Realitas yang tampak tanpa terselubung atau tirai antara manusia dengan
realitas itu. Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu
“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,
fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam
kesadaran kita.
- Epoche
Epoche adalah cara pandang lain yang baru dalam melihat
sesuatu. Kita belajar menyaksikan apa yang tampak sebelum mata kita memandang,
kita menyaksikan apa yang kita dapat kita bedakan dan deskripsikan.
- Konstitusi
Konstitusi ialah proses konstruksi dalam
kesadaran manusia. Ketika ia melihat suatu bentuk benda, yang tampak pada
indera kita selalu sebagian. Ia tampak dari mana kita lihat. Tapi kesadaran
kita melakukan konstitusi, sehingga kita menyadari tentang (kemungkinan) bentuk
benda itu bila dilihat dari sisi lain. Konstitusi adalah hal yang diihat dari sudut
pandang subjek, memaknakan dunia dan alam semesta yang dialami.
- Kesadaran
Kesadaran adalah pemberian makna yang aktif. Kita
selalu mempunyai pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang kesadaran yang
identik dengan diri kita sendiri.
- Reduksi
Reduksi adalah kelanjutan dari epoche. Reduksi ialah memilah pengalaman
untuk mendapatkan fenomena dalam wujud semurni-murninya. Segala yang tampak
tidak bisa diterima bergitu saja tetapi harus ditilik dalam kesadaran kita.
Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori praanggapan, serta
prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.
C. Metode
Penelitian Fenomenologi
Setiap penelitian memerlukan objektivitas. Objektivitas dalam penelitian
fenomenologi adalah membiarkan fakta berbicara untuk dirinya sendiri. Hal ini
dapat dilakukan dengan epoche dan eiditik. Epoche adalah proses dimana si peneliti menangguhkan atau menunda
penilaian terhadap fakta/fenomena yang diamatinya walaupun ia telah memiliki
prakonsepsi atau penilaian tertentu sebelumnya terhadap fenomena itu. Fenomena
dibiarkan berbicara sendiri tanpa penilaian baik-buruk, positif-negatif,
bermoral-tidak bermoral dari sisi si peneliti. Eiditik adalah memahami fenomena melalui pemahaman atas
ungkapan-ungkapan atau ekspresi-ekspresi yang digunakan subjek. Peneliti
berempati dan mencoba memasuki wilayah pemikiran subjek melalui proses
imajenatif.
1.
Prosedur dan Fokus Penelitian
Menurut
Hasbiansyah (2008:171-172), terdapat prosedur penting dalam studi fenomenologi,
yaitu:
a
Menetapkan lingkup fenomena yang
akan diteliti: Peneliti berusaha memahami perspektif filosofis di balik
pendekatan yang digunakan, terutama konsep mengenai kajian bagaimana orang
mengalami sebuah fenomena. Peneliti menetapkan fenomena yang hendak dikaji
melalui para informan.
b
Menyusun daftar pertanyaan:
peneliti menuliskan pertanyaan yang mengungkapkan makna pengalaman bagi para
individu, serta menanyakan kepada mereka untuk menguraikan pengalaman penting
setiap harinya.
c
Pengumpula data: Peneliti
mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang diteliti. Data
diperoleh melalui wawancara mendalam dengan cukup lama. Teknik lain ialah:
observasi, dan penelusuran dokumen.
d
Analisis Data: analisis data
melewati tahap awal, tahap horizontalisasi, dan tahap cluster of meaning.
e
Tahap deskripsi esensi: peneliti
mengontruksi (membangun) deskripsi menyeluruh mengenai makna dan esensi
pengalaman subjek.
f
Peneliti melaporkan hasil
penelitiannya. Laporan ini memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembaca
tentang bagaimana seseorang mengalami fenomena. Laporan penelitian menunjukkan
adanya kesatuan makna tunggal dari pengalaman, dimana seluruh pengalaman itu
memiliki “struktur” yang penting.
Pada dasarnya ada dua hal utama yang menjadi fokus dalam penelitian
fenomenologi, yakni:
- Textural description: apa yang dialami oleh subjek penelitian tentang sebuah fenomena. Apa yang dialami adalah aspek objektif, data yang bersifat faktual, hal yang terjadi dalam empiris.
- Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya. Deskripsi ini menyangkut aspek subjektif. Aspek ini menyangkut pendapat, penilaian, perasaan, harapan serta respons subjektif lainnya dari subjek penelitian berkaitan dengan pengalaman itu.
Dengan demikian pertanyaan
penelitian dalam studi fenomenologi mencakup pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
a
Apa pengalaman subjek tentang
suatu fenomena/peristiwa?
b
Apa perasaannya tentang
pengalaman tersebut?
c
Apa makna yang diperoleh bagi
subjek atas fenomena itu?
- Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data utama
dalam studi fenomenologi adalah wawancara mendalam dengan subjek penelitian.
Untuk memperoleh hasil wawancara yang utuh, maka wawancara itu harus direkam.
Kelengkapan data dapat diperdalam dengan menggunakan teknik lain, seperti
observasi partisipan, penelusuran dokumen dan lain-lain.
- Analisis Data
Analisis data fenomenologis
terbagi menjadi tiga, yaitu tahap awal, tahap horizontalisasi, dan tahap cluster of meaning. Pada tahap awal
peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena yang dialami subjek penelitian.
Seluruh rekaman hasil wawancara mendalam dengan subjek penelitian
ditranskripsikan ke dalam bahasa tulisan. Pada tahap horizontalisasi, dari
hasil trasnkripsi, peneliti mengiventarisir pernyataan-pernyataan penting yang
relevan dengan topik. Pada tahap ini unsur subjektivitas tidak boleh
mencampuri. Pada tahap cluster of meaning,
peneliti mengklasifikasi pernyataan-pernyataan tadi ke dalam tema-tema atau
unit-unit makna, serta menyisihkan penyataan yang tumpang tindih atau
berulang-ulang. Pada tahap ini peneliti melakukan deskripsi tekstural dan
dilanjutkan dengan deskripsi struktural.
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa penelitian fenomenologi hanya
menggali dua dimensi, yaitu apa yang dialami subjek dan bagaimana subjek
memaknai pengalaman tersebut. Dimensi pertama merupakan pengalaman faktual
subjek, bersifat objektif. Sedangkan dimensi kedua merupakan opini, penilaian,
evaluasi, harapan, dan pemaknaan subjek terhadap fenomena yang dialaminya.
Dimensi kedua bersifat subjektif. Peneliti harus memahami prinsip-prinsip
penelitian fenomenologi. Tanpa memahami prinsip penelitian fenomenologi analisis
data yang telah ditranskripkan dalam uraian atau tabel akan sulit dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbiansyah, O. “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar
Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi” dalam Mediator Vol. 9 No.
1 Juni 2008.
Jailani, M. Syahran. “Ragam Penelitian Qualitative:
Etnografi, Fenomenologi, Grounded Theory dan Studi Kasus” dalam Edu-Bio; Vol 4,
Tahun 2013.
Bisa di lengkapi lagi
BalasHapus