Archive for Januari 2011

Oleh: Mohammad Arifin
Mahasiswa STKIP Islam Bumiayu

Latar belakang munculnya pembelajaran konteksual di Indonesia ialah karena melihat dari kondisi pendidikan di Indonesia yang cukup memperihatinkan baik secara makro maupun secara mikro. Secara makro kondisi pendidikan indonesia dilihat dari lingkup internasional. Berdasarkan penelitian International Education Achievment (IEA), Indonesia menempati urutan ke-30 dari 38 negara dalam hal kemampuan membaca siswa SD. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh The Third International Mathematics and Science study repeat(1999) menunjukan kemampuan siswa Indonesia dalam bidang matematika dan IPA indonesia menempati urutan 34 dan 32 dari 38 negara. Pada tahun 2003 menurut UNDP, Indonesia menempati urutan 112 dari 175 negara.
Secara mikro, kondisi pendidikan Indonesia dapat dilihat dalam pembelajaran di sekolah. Banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hafalan yang tinggi namun tidak dapat memahami apa yang dihapalkan. Tiadak sedikit siswa yang tidak mampu menghubungkan antara pengetahuan yang ia dapatkan dengan bagaimana cara memanfaatkannya. Siswa kesulitan memahami konsep akademik yang diajarkan secara abstrak melalui metode ceramah. Padahal siswa sangat membutuhkan konsep-konsep yang akan membantu pada tempat hidup mereka kelak.
Pembelajaran kontekstual berfungsi untuk membantu guru dalam mengaitkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia dan membantu guru dalam memotivasi siswa membuat hubungan antara pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Definisi
Pembelajaran kontekstual (2009) adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi nyata sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Direktorat Pembinaan SMP menyebutkan Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/-konteks lainnya.
Dari dua penegertian di atas maka diketahui bahwa pembelajaran kontekstual ialah suatu proses yang bertujuan membantu siswa memahami materi pelajaran dengan cara mengaitkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat memanfaatkan pengetahuan yang ia dapat dalam kehidupan nyata.

Tujuh Komponen CTL
Ada tujuh komponen CTL atau pembelajaran kontekstual yang harus menjadi landasan dalam pengembangannya. Ketujuh komponen itu ialah;
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme menghendaki siswa membangun pemahamannya sendiri melalui pengetahuan yang ia miliki. Dengan kata lain, pada dasarnya siswa mempunyai modal awal pengetahuan yang harus dikembangkan. Pembelajaran harus dikemas “mengkonstruksi”, bukan menerima pengetahuan.
2. Inquiry (menemukan)
Inquiry adalah proses dimana siswa menemukan kasus. Di sini siswa belajar menggunakan ketrampilan berfikir kritis. Proses ini merupakan proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
3. Questioning (bertanya)
Pada proses ini guru mengembangkan keingin tahuan siswa melalui bertanya. Guru memotivasi siswa agar memiliki keingin tahuan yang tinggi untuk menggali informasi atau meyakinkan apa yang dipelajari.
4. Learning Community
Guru membangun masyarakat belajar melalui kerja sama antar siswa. Masyarakat belajar akan terikat dalam kelompok belajar. Di sini siswa dapat berbagi pengalaman dan ide. Di samping itu juga belajar bersama-sama tentunya akan lebih baik daripada belajar sendiri-sendiri.
5. Modelling (Pemodelan)
Pemodelan adalah proses mempragakan sesuatu sebagai contoh yang dapat dicontoh oleh siswa. Pemodelan bisa melibatkan guru, outsider atau siswa itu sendiri. Misalnya, guru mempergakan praktek shalat, Pengrajin mempragakan pembuatan hasil karyanya atau bahkan siswa pemenang lomba pidato mempragakan kemampuannya.
6. Reflecting (Refleksi)
Refleksi adalah proses internalisasi atau pengendapan pengalaman yang telah yang telah dipelajaran. Cara ini yang dilakukan siswa untuk membangun struktur kognitif siswa yang baru. Pembelajaran kontekstual menghendaki siswa merenung atau mengingat kembali pengalaman belajarnya.
7. Authentic Assesment (penilaian nyata)
Penilaian dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek. Tidak seperti penilaian konvensional yang hanya memperhatikan aspek intelektual (hasil tes), pembelajaran kontekstual memperhatikan aspek afektif dan motorik yang terlihat dalam proses dan hasil. Dengan kata lain penilaian dilakukan secara terus menerus selama proses pembelajaran.
Penilaian autentik bertujuan mengevaluasi kemampuan siswa dalam konteks dunia nyata. Dengan kata lain, siswa belajar bagaimana mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya ke dalam tugas-tugas yang autentik.
Melalui penilaian autentik ini, diharapkan ber-bagai informasi yang absah/benar dan akurat dapat terjaring berkaitan dengan apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas program pendidikan.

Pola Pembelajaran Kontekstual
Ada tiga langkah utama yang dilakukan guru dalam pembelajaran kontekstual. Langkah-langkah utama itu berupa pendahuluan, inti dan penutup.
1. Pendahuluan
Pada tahap ini guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai, prosedur pembelajaran dan tanya jawab seputar tugas yang harus dikerjakan siswa. Dalam menjelaskan kompentensi usahakan guru tidak hanya menjelaskan secara datar namun perlu juga guru menjelaskan manfaat proses pembelajaran dan pentingnya materi bagi siswa. Prosedur pembelajarannya ialah siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan melaksanakan penggalian data sesuai dengan petunjuk guru. Tanya jawab sebelum pelaksanaan diperlukan untuk menghindari ketidakjelasan dalam proses yang akan dilaksanakan.
2. Inti
Kegiatan ini berlangsung di dalam maupun di luar kelas (lapangan). Di lapangan siswa melakukan wawancara dan mencatat semua hal yang ia temukan. Di dalam kelas siswa mendiskusikan hasil temuan, melaporkan hasil diskusi dan menjawab pertanyaan dari kelompok lain.
3. Penutup
Dalam kegiatan penutup ialah membuat kesimpulan dan merefleksikan apa yang baru saja dipelajarinya.

Pembelajaran kontekstual dapat memberikan pengalaman berharga bagi siswa. Siswa tidak akan mudah lupa dengan pengalaman belajarnya. Di banyak negara, pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar siswa.

Sumber: Hamruni.2009. Strategi dan Model-model pembelajaran Aktif Menyenangkan. UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

C T L

Senin, 17 Januari 2011
0 Comments

oleh : arifin

Mahasiswa STKIP Islam Bumiayu

Pepatah mengatakan bahwa sesuatu yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Tiada sesuatu yang bertahan statis di dunia ini. Segalanya mengalami perubahan, demikian halnya dengan kondisi masyarakat juga mengalami perubahan, itulah sebabnya setiap organisasi atau lembaga harus memiliki kemampuan untuk berubah. Apabila tidak melakukan perubahan maka organisasi tidak akan dapat bertahan lama.

Pada kondisi yang sangat kompetitif seperti saat ini, sekolah didorong untuk menghasilkan produk atau layanan yang kompetitif. Produk dan layanan yang mampu memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholder. Perlu diketahui bahwa seiring dengan perubahan berbagai kondisi makro di masyarakat, kebutuhan dan harapan stakeholder mengalami perubahan yang cepat. Oleh karena itu, Sekolah/madrasah perlu menyusaikan diri dengan cara melakukan perubahan.

Seiring dengan perubahan ataupun dengan tidak adanya perubahan dalam sekolah/madrasah selalu diikuti oleh adanya risiko. Melihat hal itu, sekolah/madrasah perlu mempunyai mekanisme pengelolaan perubahan dan resiko agar mampu bertahan hidup lebih lama. Mekanisme pengelolaan yang penulis maksud adalah manajemen perubahan dan manajemen risiko.

DEFINISI

Manajemen perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam organisasi. Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut.

Ada tiga waktu perubahan yang dapat dipilih organisasi yang masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Pilihan pertama adalah pilihan yang paling baik namun sering kali paling sulit dilaksanakan, karena membutuhkan pemimpin yang visioner. Perubahan dilakukan secara evolusioner pada saat organisasi sedang dalam masa kejayaan. Perubahan ini disebut transformasi. Pilihan yang kedua adalah waktu perubahan yang dipilih atau mungkin baru disadari ketika organisasi mulai mengalami penurunan kinerja. Perubahan ini disebut dengan turnaround. Adapun pilihan yang ketiga adalah waktu perubahan yang dilakukan oleh organisasi ketika organisasi tersebut telah mengalami kebangkrutan dan hampir mati. Perubahan yang dilakukan pada tahap ini sudah termasuk dalam manajemen krisis.

Manajemen risiko adalah proses pengukuran atau penilaian risiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal. (Wikipedia)

Bramantyo dalam Muhaimin,dkk. (2009) mengartikan mengartikan resiko sebagai keadaan ketidakpastian dan tingkat kepastiannya terukur secara kuantitatif. Ketidakpastian adalah suatu keadaan dimana ada beberapa kemungkinan kejadian dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda. Tetapi, tingkat kemungkinan atau probabilitas itu sendiri tidak diketahui secara kuantitatif.

ARTI PENTING

Perubahan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup suatu organisasi. Tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa organisasi tidak akan bertahan lama. Perubahan bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan jaman dan kemajuan teknologi.

Manajemen perubahan bagi sekolah bermanfaat untuk berinovasi dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan agar menjadi sekolah yang unggul. Sekolah yang mampu memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholder secara simultan.

Adapun manajemen risiko bermanfaat juga untuk meminimalkan resiko atau paling tidak mendistribusikannya selama pengembangan dan idealnya resiko dalam organisasi dihapus dari aktivitas yang mempunyai jalur kritis.

PENGARUH MANAJEMEN PERUBAHAN DAN MANAJEMEN RISIKO DALAM DUNIA PENDIDIKAN

v MANAJEMEN PERUBAHAN

Dengan perubahan berbagai kondisi makro di masyarakat, dunia pendidikan pun melakukan perubahan. Misalnya, perubahan dalam upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan pada era setelah reformasi yang ditandai dengan menguatnya keinginan untuk berubah dari pengelolaan yang bersifat sentralistis menuju pengelolaan yang bersifat desentralistis membuat pemerintah memunculkan berbagai paket kebijakan seperti; Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Peningkatan Mutu yang ditandai dengan kebijakan tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Dewan Pendidikan, Dewan Sekolah, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan, dll.

Perubahan tentang masyarakat tentang pendidikan juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya madrasah hanya dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih menguasai ilmu agama dibandingkan dengan ilmu umum, sekarang para orang tua siswa meninginkan madrasah mampu menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu agama dan umum.

Kondisi tersebut tentu menuntut perubahan dalam pengelolaan madrasah untuk menyiapkan siswanya pandai agama dan pandai dalam ilmu pengetahuan, olah raga, teknologi dan seni. Perubahan ini bukan hanya mengubah kurikulum tetapi juga perlu mengubah cara berfikir seluruh komponen madrasah. Perubahan ini akan mempengaruhi nilai-nilai madrasah dan pada akhirnya akan mempengaruhi perubahan budaya madrasah.

Perubahan yang paling mendasar adalah perubahan yang berkaitan dengan cara berfikir/cara pandang, maka komponen yang paling penting untuk perubahan adalah manusia. Itulah sebabnya sebuah organisasi akan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan memiliki kemampuan melaksanakan perubahan yang baik jika memiliki manusia-manusia pembelajar.

Dengan kemampuan untuk melaksanakan perubahan itulah sekolah/madrasah akan memiliki kemampuan yang cukup untuk menjadi lembaga yang unggul. Untuk menjadi sekolah yang unggul ada beberapa komponen yang harus diperhatikan (Depdikbud, 1994) yang meliputi; (1) masukan (input) ; (2) Sarana dan prasarana yang menunjang; (3) Lingkungan belajar yang kondusif; (4) Guru dan tenaga kependidikan yang unggul; (5) Kurikulum yang memadai; (6) Kurun waktu belajar lebih lama; (7) Proses yang berkualitas dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan; (8) Bermanfaat bagi peserta didik dan lingkungan; (9) memiliki nilai lebih.

Terdapat beberapa proses yang dapat mendukung sekolah/madrasah untuk menjadi unggul, proses-proses tersebut meliputi:

1) Tidak elitis, menerima dan memajukan siswa.

2) Tidak membatasi kurikulum secara sempit pada yang dasar, memberikan kurikulum yang fleksibel, dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

3) Tidak tertuju pada tes semata, pencapaian materi lebih disebabkan karena mereka dilatih proses berfikir tingkat tinggi.

4) Bekerja tidak terpaku pada program yang kaku, bekerja atas dasar komitmen dan kreatifitas pegawai

5) Kepala sekolah tidak otoriter, memilki visi dan memiliki upaya untuk mewujudkan visi tersebut.

6) Merekrut dan mempekerjakan staf dengan dasar keahlian, dan memiliki prosedur untuk mengeluarkan mereka yang tidak memberikan kontribusi terhadap misi sekolah.

7) Memilki pengembangan staf yang intensif

8) Memiliki tujuan yang jelas, penilaian yang baik serta dapat memperbaiki kekurangan dan menghindari kesalahan.

9) Guru dan siswa sama-sama memiliki tanggung jawab dalam pembelajaran.

10) Menempatkan kesejahteraan siswa di atas yang lain

11) Memiliki struktur yang memungkinkan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dilakukan secara kelompok dan bukan individual.

12) Memiliki pemimpin yang menggugah semangat dan partisipasi staf dan menggalang dukungan pihak luar.

13) Merayakan keberhasilan dan memberikan penghargaan kepada staf dan siswa yang berprestasi.

14) Fleksibel dalam hal cara, namun berpegang teguh pada tujuan.

Jika dilihat dari proses tersebut, tampak bahwa untuk menjadi sekolah unggul, harus memilki kemampuan untuk berubah. Kondisi tersebut ditunjukan dengan ciri bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholder. Kebutuhan dan harapan stakeholder adalah sesuatu yang berubah-ubah, namun demikian adakalanya sekolah tidak hanya memenuhi tetapi juga mempengaruhi harapan dan kebutuhan mereka.

v MANAJEMEN RISIKO

Risiko merupakan sesuatu yang memiliki dampak terhadap pencapaian tujuan organisasi. Beberapa tipe risiko di lembaga pendidikan (Prince watercoper dalam muhaimin 2009), meliputi:

1) Risiko strategis, merupakan risiko yang berpengaruh terhadap kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan.

2) Risiko keuangan, risiko yang mungkin akan berakibat berkurangnya asset.

3) Risiko Operasional, merupakan risiko yang berdampak pada kelangsungan proses dan prosedur internal untuk memenuhi hokum dan peraturan yang berlaku.

4) Risiko reputasi, merupakan risiko yang berdampak pada reputasi dan merek lembaga.

Kenaikan SPP misalnya, dapat mempengaruhi keputusan siswa dalam memilih sekolah/madrasah. Jika SPP dinaikan, sekolah/madrasah berharap akan dapat membiayai lebih banyak program unggulan, namun demikian jika tidak diantisipasi dan tidak mambandingkan dengan lingkungan kompetitif, maka akan dapat menurunkan perolehan siswa, yang tentu pada akhirnya akan dapat mempengaruhi pancapaian tujuan sekolah/madrasah tersebut. Namun demikian, jika SPP diturunkan juga akan memunculkan risiko, baik itu risiko keuangan dengan menurunnya sekolah/madrasah dalam pengadaan asset, maupun risiko reputasi, yaitu menurunnya reputasi sekolah/madrasah tersebut. Perubahan kurikulum juga memiliki risiko operasional, yaitu berkaitan dengan proses merancang, implementasinya dalam strategi pembelajaran sampai dengan proses evaluasi pembelajaran.

Perubahan kurikulum juga dapat mempengaruhi risiko tingkat kesesuaian antara peraturan dan perundangan yang berlaku dengan pedoman dan prosedur pelaksanaan internal. Hasil lulusan yang direncanakan harus memenuhi standar lulusan yang ditetapkan suatu Negara. Karena itu, sekolah harus pula mengubah berbagai proses dan prosedur pembelajaran untuk mencapai standar baru tersebut.

Pada akhirnya perubahan kurikulum yang dilakukan harus diikuti dengan berbagai perubahan-perubahan yang lain. Berbagai perubahan pada akhirnya akan merubah citra orang terhadap sekolah tersebut. Di dalam citra itulah reputasi sebuah lembaga terbangun.

Dengan demikian, setiap perubahan akan menimbulkan risiko, namun demikian tidak melakukan proses perubahan juga memiliki risiko. Oleh karena itu, sekolah harus mengidentifikasi risiko dan proses perencanaannya. Proses tersebut dapat dilihat pada table berikut ini.

Identifikasi Risiko

Kondisi saat ini

Kondisi yang akan datang

Risiko

strategis

keuangan

operasional

pemenuhan

reputasi

1

2

3

4

5

6

7

Kompetensi lulusan masih memenuhi standar minimal

Kompetensi lulusan harus mencapai standar internasional

Visi, misi lembaga perlu untuk dikembangkan, termasuk berbagai sasaran dan program-program baru dalam 4 tahun ke depan.

Membutuhkan sumber-sumber pendanaan baru.

Ketrampilan guru dan sarana dan prsarana harus ditingkatkan.

Prose perencanaan pembelajaran, strategi pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar harus sesuai dengan jenis kompetensi yang akan dicapai.

Reutasi sekolah atau mandrasah akan meningkat

Setelah teridentifikasinya risiko seperti di atas kemudian dikembangkanlah berbagai skenario dari risiko yang ditimbulkan. Skenario dari risiko yang ditimbulkan ialah berupa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Di dalam tiap-tiap kemungkinan dideskripsikan kemungkinan berdasarkan jenis resiko yang meliputi; strategiis, keuangan, operasional, pemenuhan dan reputasi. Dan diidentifkasi propabilitas serapan oleh Stakeholder. Proses penyusunan tersebut tentunya didasarkan pada data yang ada. Jika belum ada maka perlu diawali dengan proses pengumpulan data melalui berbagai kegiatan pengukuran.

Setelah sekolah mampu melakukan identifikasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi, pada tahap selanjutnya ialah sekolah harus melakukan pengukuran risiko. Menurut Bramantyo (2008) pengukuran selalu mengacu pada probabilitas dan dampak atau akibat. Proses selanjutnya dari manajemen risiko ialah merencanakan pengelolaan risiko yang akan terjadi atau risiko yang telah dipilih.

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam organisasi. Sementara itu, manajemen risiko adalah proses pengukuran atau penilaian risiko serta pengembangan strategi pengelolaannya.

Manajemen Perubahan sangat bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi. Organisasi harus mampu beradaptasi dengan lingkungan dan memiliki kemampuan untuk berubah karena organisasi dihadapkan pada lingkungan selalu berubah. Manajemen Risiko sangat bermanfaat untuk meninimalkan risiko dan bahkan menghapus risiko yang akan dihadapi.

Bagi dunia pendidikan (sekolah/madrasah) manajemen perubahan dan manajemen risiko mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Manajemen perubahan akan mempengaruhi kemampuan sekolah/madrasah dalam upaya menjadi lembaga yang unggul. Sementara itu manajemen risiko akan berpengaruh pada pencapaian visi dan misi sekolah/madrasah.

Manajemen Perubahan & Manajemen Risiko

Minggu, 09 Januari 2011
0 Comments
Oleh : Mohammad Arifin
Mahasiswa STKIP Islam Bumiayu
Kementerian Pendidikan Nasional telah mengembangkan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional serta membuat standar tunggal pengelolaan sekolah dengan sertifikasi ISO 9001:2000. Kebijakan itu diperkuat dengan UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3 yang berbunyi ”Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.1
Kebijakan pemerintah melalui pemberian sertifikasi berdasarkan tingkatan mutu bagi sekolah-sekolah di Indonesia tanpa sadar telah melegitimasi kasta-kasta dalam dunia pendidikan. Sekolah-sekolah yang mencapai sertifikat ISO 9001:2000 diberi kekebasan tanpa batas untuk memungut biaya pendidikan dari siswanya padahal sekolah tersebut telah mendapatkan bantuan ratusan juta rupiah. Persoalan ini membuat sekolah unggulan menjadi mahal dan elitis sehingga masyarakat golongan ekonomi lemah menjadi sulit untuk menjangkaunya. Dan sekolah-sekolah ditingkat bawahnya menjadi ramai memasang tarif pendidikan sesuai dengan kelas-kelasnya.
Kondisi ini jelas suatu kemunduran bagi sistem pendidikan kita, karena kastanisasi merupakan indikasi diskriminasi pendidikan bagi golongan bawah. Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimanakah diskriminasi dalam dunia pendidikan yang merupakan akibat dari kastanisasi bisa terjadi.

Deklarasi HAM jelas telah menyatakan tidak boleh adanya diskriminasi, demikian juga bunyi UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Artinya jelas bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang sama.
Namun kebijakan pemerintah untuk mengembangkan kualitas pendidikan yang mendasarkan pada UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 tanpa sadar telah menciptakan kasta-kasta bagi sekolah: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Standar Nasional (SNN), dan Sekolah Reguler (SR).

Kasta-kasta dari sisi finansial
Kehadiran RSBI memang menimbulkan kastanisasi pendidikan, mulai kasta yang rendah, kasta menengah, sampai kasta yang tinggi, kalau dilihat dari sisi finansial.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, sekolah negeri dilarang menarik iuran untuk keperluan biaya operasional sekolah karena sudah mendapat bantuan secara langsung maupun tidak langsung, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah, dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS), insentif guru, dan sebagainya. Implikasinya, para siswa sekolah negeri bebas dari biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan semacamnya. Artinya, orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya SPP dan semacamnya.
Berbeda dengan sekolah swasta. Meski sudah mendapat bantuan pemerintah berupa BOS dan insentif guru, banyak sekolah swasta yang menarik SPP kepada siswa karena bantuan tersebut dirasa belum mencukupi kebutuhan sekolah. Namun, besarnya SPP yang ditarik relatif terbatas.
Lain sekolah swasta, dan lain pula RSBI. Sekolah yang berstatus RSBI secara resmi dihalalkan dan dilegalkan menarik iuran dari siswa, termasuk iuran untuk biaya operasional. Jumlahnya pun relatif tidak terbatas. Karena itulah, banyak sekolah berstatus RSBI yang menarik iuran dalam jumlah ''tidak terkira'', sehingga hanya bisa dibayar oleh orang-orang yang berkecukupan.



Diskriminasi Pendidikan
Di lingkungan internal RSBI diskriminasi terlihat pada perbedaan fasilitas yang diterima siswa kelas internasional dan kelas reguler amat mencolok. Contohnya di SMP Negeri 19 DKI Jakarta, misalnya, perbedaan itu sudah terlihat dari kursi yang digunakan. Siswa kelas reguler ”hanya” duduk di kursi kayu yang keras dan kaku. Sementara itu siswa kelas internasional Mereka lebih nyaman duduk di kursi plastik dengan rangka stainless steel, dan meja terpisah, seperti yang kerap ditemui di tempat-tempat bimbingan belajar.
Bukan hanya itu. Siswa kelas internasional juga memiliki ruangan khusus yang digunakan sebagai klinik, berikut dokter umum dan dokter spesialis gigi, yang siap sedia setiap Senin hingga Kamis.
Semua itu bukan tanpa harga. Siswa kelas internasional membayar jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang masuk ke kelas reguler. Ironisnya, ini yang jadi alasan pembenar sehingga fasilitas belajar yang disediakan pun berbeda.
Dari gambaran tersebut, telah tampak adanya kasta-kasta dalam dunia pendidikan. Hal yang sangat tidak relevan dengan amanat UUD 1945 yang memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan pendidikan RSBI.
Melihat kenyataan ini, mau tidak mau anak-anak miskin harus mengesampingkan impiannya untuk menikmati pendidikan berkualitas. Sebab, untuk masuk sekolah-sekolah berlabel SBI siswa umumnya harus membayar iuran sekitar Rp 8 juta-Rp 10 juta, sementara biaya bulanan Rp 450.00 hingga Rp 850.000. Siapa yang mampu bayar biaya sekolah sebesar itu ?. Kenyataan ini menjadikan sekolah favorit menjadi sangat elitis dan sulit dijangkau kalangan bawah.
Ini jelas suatu bentuk diskriminasi pendidikan untuk kalangan bawah yang dengan kata lain merupakan bentuk pengingkaran terhadap deklarasi HAM dan UUD 1945. Rakyat kecil seakan tidak boleh menikmati pendidikan bermutu hanya karena status mereka miskin. Padahal anak-anak miskin menurut konstitusi merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun realitasnya, rakyat harus membiayai sendiri pendidikannya karena subsidi pemerintah amat kecil. Di samping itu juga dilihat dari sudut konstitusi kita sistem pendidikan yang lebih dari satu merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

Apabila diperhatikan akan ada kesamaan pola sistem pendidikan kita dengan sistem pendidikan pada masa penjajahan belanda. Kesamaan itu dapat dilihat pada masa belanda ditujukan untuk golongan priyayi atau golongan bangsawan yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. Demikian juga pada masa sekarang pendidikan dikastanisasikan untuk kepentingan orang yang berduit atau yang mampu bayar tinggi. Sehingga tidak mengherankan apabila ada istilah ” siapa yang bisa bayar, maka dia akan diterima di sekolah SBI”. Kesan-kesan komersialisasi pendidikan semacam itu menjadikan jaminan kualitas sekolah yang berstandar internasional patut untuk diragukan.
Pada jaman Belanda bahasa pengantar pendidikannya menggunakan bahasa asing yaitu, bahasa belanda. Pada masa sekarang sekolah berlabel SBI bahasa pengantarnya pun menggunakan bahasa asing namun kali ini menggunakan bahasa inggris. Penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar dalam sekolah bertaraf internasional jelas-jelas merupakan pengingkaran terhadap sumpah pemuda dan UUD 1945. Meskipun kemampuan berbahasa inggris itu penting untuk menghadapi persaingan global, namun tidak boleh mengabaikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang berarti juga sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan yang berbasis budaya.
Di lain sisi apabila dilihat dari nilai-nilainya, RSBI telah mengundang perdebatan karena mengutamakan kompetisi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah yang seharusnya membantu sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan justru mendorong setiap sekolah untuk saling bersaing. Padahal, dari nilai-nilai pancasila tidak disebutkan kata-kata persaingan, yang ada adalah nilai-nilai kerjasama dan kebersamaan dalam membangun bangsa.

Program RSBI-SBI perlu dihentikan. Pengelolaan sekolah sudah sepatutnya berbasis budaya dan dana pemerintah lebih baik diarahkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru dari pada untuk membeli sertifikat ISO.

Menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas, sumber masalah RSBI adalah pada UU No. 20 tentang Sisdiknas terutama pasal 50 ayat 3. Oleh karenanya perlu dilakukan amandemen. Apalagi adanya RSBI telah melanggar UUD 1945 Pasal 31 ayat (3).

”KASTANISASI PENDIDIKAN”

Oleh: Mohammad Arifin

Mahasiswa STKIP Islam Bumiayu
Mahasiswa merupakan generasi muda yang sedang beraktifitas mendalami ilmu di perguruan tinggi untuk menggali potensi intelektual, memperluas wawasan, dan menanamkan semangat pengabdian. Sehingga terbentuklah mahasiswa yang ideal yang dalam aktifitasnya termotivasi oleh cita-cita pribadi dan cita-cita masyarakat luas.
Menjadi mahasiswa adalah anugerah Allah swt yang patut kita syukuri. Patut kita syukuri karena masih banyak generasi bangsa yang tidak dapat kuliah karena mahalnya biaya. Diketahui hanya 5% saja penduduk Indonesia yang dapat menikmati pendidikan tinggi.
Namun demikian, kuliah di perguruan tinggi bukanlah tujuan utama tetapi hanyalah sarana untuk mencapai cita-cita di masa depan. Oleh karena itu, sudah seharusnya mahasiswa memanfaatkan waktu kuliah dengan sebaik-baiknya agar dapat meraih cita-citanya itu.
Berbagai aktivitas yang mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus seharusnya dilandasi karena adanya kesadaran tanggung jawab. Tanggung jawab itu dapat dikelompokan manjadi 3 jenis yaitu; tanggung jawab terhadap Allah swt, tanggung jawab terhadap orang lain dan tanggung jawab terhadap diri sendiri.
Dengan menyakini bahwa kita memiliki tangung jawab terhadap Allah swt maka hidup kita akan terkontrol dan mendapatkan menfaat ganda. Terkontrol dengan maksud bahwa tindakannya akan terkendali tidak hanya menuruti nafsu saja tetapi termonitoring oleh akal. Kita akan berfikir jauh ke depan dalam melakukan sesuatu rasional dan penuh perhitungan sehingga akan terhindar dari perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan mendapatkan manfaat ganda ialah kita tidak hanya akan mendapatkan manfaat berupa keuntungan di dunia saja tetapi juga akan mendapatkan imbalan pahala untuk meraih keuntungan di akherat kelak. Keuntungan ganda dapat tercapai apabila kita menjalankan setiap perilaku kita untuk beribadah kepada Allah semata.
“ Tidak lah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku “ ( QS. 51:56 )

Tanggung jawab terhadap orang lain ialah diantara orang tua, dosen, masyarakat dan lingkungan. Tanggung jawab kita terhadap orang tua karena mereka telah melahirkan dan membesarkan kita. Kepada dosen karena mereka adalah manusia yang mendidik kita untuk mencapai kedewasaan. Terhadap masyarakat karena kita adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Sehingga kita patut peduli kepada masyarakat.
Sifatnya dapat secara formal maupun non formal. Secara formal misalnya mengikuti berbagai kegiatan dalam wadah organisasi mahasiswa ataupun dalam wadah organisasi masyarakat. Kegiatan tersebut bergerak dengan aktivitas kepedulian sosial yang terorganisir. Sedangkan yang non formal bisa dalam wujud kepedulian, perhatian dan kasih sayang kita terhadap sesama tanpa terorganisir secara legal. Tanggung jawab ini
Dan yang terakhir, kita memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri. Tanggung jawab itu meliputi tanggung jawab secara rohani, jasmani dan akal fikiran. Secara rohani jiwa kita membutuhkan masukan ruhiyah melalui agama. Membutuhkan internalisasi nilai-nilai spiritual untuk mendekatkan diri kapada Illahi. Kita membutuhkan siraman rohani yang mampu menyegarkan jiwa kita agar kita selalu bersemangat dalam melakukan aktifitas hidup. Tubuh kita juga memerlukan makanan dan minuman, istirahat, olah raga dan sebagainya untuk menjaga kesehatan tubuh. Sedangkan masukan yang bersifat akal pikiran adalah kebutuhan akan ilmu pengetahuan untuk memenuhi rasa ingin tahu manusia yang tak pernah berhenti. Dan ilmu pengetahuan itu diperlukan untuk membangun kemajuan masyarakat yang sejahtera.
Dari uraian di atas akan dapat diambil kesimpulan bahwa kita harus mampu menjalankan semua kegiatan dengan seimbang dan penuh tanggung jawab. Semua kegiatan seharusnya dilakukan bukan hanya untuk memenuhi tanggung jawab diri sendiri saja, tetapi juga untuk memenuhi tanggung jawab terhadap orang lain dan Allah swt. Dan ketiganya harus menyatu dalam satu waktu dan kegiatan tanpa dipisah-pisahkan.

MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB

- Copyright © Mohammad Arifin - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -